iang Kerok Sampah, Kemasan Kecil Tak Laku di Industri Daur Ulang

Jakarta – Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) dan Anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional Saut Marpaung mengkritik opini di industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang menyikapi rencana BPOM untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan.

Terkait rencana pelabelan tersebut, muncul opini galon sekali pakai berpotensi menambah persoalan sampah. Menurut Saut, opini tersebut terdengar aneh dan primitif. Ia menduga adanya konflik kepentingan di balik opini persoalan sampah plastik tersebut.

Pada kenyataannya, kata Saut, yang mencemari lingkungan dengan tumpukan sampah adalah kemasan kecil. Ia bahkan menyebut sampah tersebut tak bernilai untuk industri daur ulang.

“Dalam operasional sehari-hari, kami bisa buktikan bahwa sampah kemasan kecil tak punya nilai bagi industri daur ulang. Makanya kemasan kecil inilah yang menjadi persoalan sampah sesungguhnya, berpotensi tercecer, sulit dipungut dan menambah timbulan sampah. Tak sesuai dengan Permen KLHK no 75 tahun 2019, mengenai peta pengurangan sampah dan usaha phasing out kemasan di bawah 1 liter,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (19/9/2022).

Diketahui, data Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) menunjukkan produksi kemasan gelas bersedotan 220 ml yakni 10,4 miliar pcs/tahun. Dari jumlah tersebut, plastik sekali pakai hanya menyumbang 46 ribu ton/tahun, atau 26% dari total timbulan sampah AMDK.

Di sisi lain, sumbangan sampah market leader di kemasan ini disebut mencapai 5.300 ton/tahun.

“Fakta di lapangan, market leader ini penuh dengan problem sampah dan lingkungan. Dan fakta-fakta timbulan sampah plastik mereka, dialihkan kepada pesaing. Sikap dan opini greenwashing itu yang mereka gencarkan, terutama kini dalam merespon BPOM,” terang Saut.

Ia mengkritik penggiringan opini yang dilakukan lobi industri tentang galon guna ulang ramah lingkungan. Menurutnya, opini yang tidak disertai informasi lengkap dapat menyesatkan masyarakat.

“Penyesatan opini yang hanya menargetkan pesaing utama mereka sekarang ini, galon sekali pakai sebagai berpotensi menambah persoalan sampah, itu aneh, primitif. Tak bisa ditutupi adanya konflik kepentingan kalau bicara persoalan sampah plastik,” ucapnya.

Karenanya, Saut menuntut para pelaku industri untuk menyampaikan informasi dan edukasi yang lengkap kepada masyarakat. Sebab, penggiringan opini yang dilakukan lobi industri dapat merugikan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai daur ulang sampah plastik.

“APSI yang ikut berpartisipasi menjaga lingkungan dengan cara daur ulang sampah plastik pasti dirugikan dengan pembelokan fakta ini. Jangan sampai karena kepentingan persaingan usaha, terus mengeluarkan pendapat yang menyesatkan masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, perwakilan LSM Net Zero Waste Consortium Ahmad Safrudin mengkritik sikap lobi industri yang seolah tak berdosa dengan menggencarkan opini greenwashing tersebut.

“Lobi industri bisa dengan nyaman melindungi bisnis AMDK mereka yang tidak aman dan menyebabkan timbulan sampah tak pernah selesai, bukan cuma berceceran di jalan-jalan tapi juga menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” ucapnya.

Ia mengatakan Indonesia memiliki reputasi buruk di mata dunia lantaran dicap sebagai salah satu polutan sampah plastik terbesar di dunia. Sebab, sampah kemasan saset, gelas, sedotan dan botol plastik dibuang di darat, di sungai dan menyampah di laut.

“Lobi industri seolah merasa tak berdosa di sini, padahal itu semua produk mereka yang dibiarkan tanpa bertanggung jawab,” tuturnya.

“Kalau sekarang lobi industri bersikap seolah mereka jadi korban regulasi pemerintah, lalu menyalahkan pihak lain, itu artinya penyesatan opini masyarakat dengan sengaja. Dan itu jahat sekali,” tandas Ahmad.